Spread the love

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Subagyo

Ketua Umum Asosiasi Dosen Ekonomi, Koperasi dan Keuangan Microfinance Indonesia (ADEKMI) & Wakil Rektor III IKOPIN University

Paradoks Ukuran vs. Kesehatan

“Besar belum tentu sehat berkelanjutan, kecil belum tentu sakit. Ada yang besar dan tetap sehat, demikianlah realitanya,” tegas Prof. Subagyo dalam diskusi terbatas dengan tim jurnalis majalah Peluang. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan hasil riset mendalam terhadap koperasi-koperasi besar di Indonesia.

Sistem Penilaian Kesehatan Koperasi Menurut Permenkop Terbaru

Saat ini, penilaian kesehatan koperasi di Indonesia mengacu pada Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi. Permenkop ini menggantikan aturan sebelumnya dan menekankan empat aspek utama dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Kesehatan Koperasi (KKPKK):

  1. Tata Kelola (Governance):
    Menilai penerapan prinsip tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan koperasi.
  2. Profil Risiko (Risk Profile):
    Mengevaluasi kemampuan koperasi dalam mengidentifikasi, mengukur, memantau, serta mengelola risiko, baik keuangan maupun non-keuangan.
  3. Kinerja Keuangan:
    Memeriksa kondisi keuangan koperasi, termasuk likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, dan efisiensi operasional.
  4. Permodalan:
    Menilai kecukupan dan kualitas modal koperasi untuk mendukung kelangsungan usaha dan menanggung risiko.

Penilaian dilakukan melalui dua tahap utama: penilaian mandiri oleh koperasi (melalui platform digital Kemenkop dan UKM) dan verifikasi lapangan oleh Tim PKK. Hasil penilaian menentukan apakah koperasi dinyatakan sehat, cukup sehat, kurang sehat, atau tidak sehat, dan bisa diikuti rekomendasi perbaikan atau sanksi administratif.

Permenkop ini juga mengatur klasifikasi usaha koperasi (KUK) berdasarkan jumlah anggota, modal, dan aset, yang memengaruhi intensitas pengawasan yang diberikan kepada koperasi.

Konsep Revolusioner: Kinerja Keuangan Berkelanjutan

Berbeda dengan penilaian kesehatan konvensional yang kini merujuk pada Permenkop No. 9 Tahun 2020 (empat aspek utama), pendekatan “kinerja keuangan berkelanjutan” fokus pada tiga pilar kunci:

  1. Profitabilitas Berkelanjutan (Sustainable ROA):
    Mengukur kemampuan menghasilkan laba tanpa mengorbankan aset jangka panjang. Contoh: koperasi dengan ROA >5% tetapi rasio utang >200% dianggap berisiko tinggi.
  2. Likuiditas Dinamis:
    Bukan sekadar current ratio >150%, tetapi kemampuan mempertahankan arus kas positif selama tiga tahun berturut-turut. Data menunjukkan 68% koperasi “sehat” konvensional gagal memenuhi kriteria ini.
  3. Resiliensi Ekologi-Sosial:
    Mengintegrasikan biaya lingkungan dan dampak sosial dalam laporan keuangan koperasi.

Perbedaan Mendasar antara Permenkop dan Pendekatan Berkelanjutan

AspekPermenkop No. 9 Tahun 2020 (KKPKK)Kinerja Keuangan Berkelanjutan (Model Prof. Subagyo)
Tata KelolaDitekankan, sebagai aspek utamaTetap penting, namun tidak menjadi satu-satunya fokus
Profil RisikoDinilai secara eksplisitDiintegrasikan dalam analisis arus kas dan leverage
Kinerja KeuanganLikuiditas, solvabilitas, profitabilitas, efisiensiProfitabilitas & likuiditas berkelanjutan, arus kas positif jangka panjang
PermodalanDitekankanDinilai dalam konteks keberlanjutan, bukan hanya jumlah
Lingkungan/SosialTidak dieksplisitkanMenjadi pilar utama, diintegrasikan dalam laporan
Indikator4 aspek utama, beberapa indikator turunan3 pilar utama, 5 indikator inti (lebih ringkas)

Keunggulan Praktis Pendekatan Berkelanjutan

  1. Efisiensi Waktu & Biaya:
    Penilaian konvensional terkadang membutuhkan puluhan indikator turunan, sedangkan model berkelanjutan hanya memerlukan 5 indikator inti.
  2. Prediksi Keberlanjutan Jangka Panjang:
    Studi pada 120 koperasi (Subagyo, 2024) membuktikan:
    • Koperasi dengan sustainable liquidity index >7,5 memiliki kelangsungan usaha 5,3x lebih tinggi.
    • Rasio debt-to-ecological footprint bisa memprediksi kebangkrutan 89% lebih akurat daripada rasio solvabilitas tradisional.
  3. Responsif terhadap Krisis:
    Ketika pandemi 2020 melanda, koperasi berbasis kinerja berkelanjutan pulih 40% lebih cepat; 92% di antaranya tidak mem-PHK karyawan.

Dasar Teoretis: Mengapa Model Ini Lebih Unggul?

  • Teori Sumber Daya Berkelanjutan (Barney, 1991):
    “Sustainable competitive advantage stems from resources that are valuable, rare, imperfectly imitable, and non-substitutable” (Barney, J., 1991, Journal of Management).
  • Kerangka Triple Bottom Line (Elkington, 1997):
    Kinerja koperasi dinilai dari tiga aspek: profit, people, dan planet.

Studi Kasus: Koperasi “Besar tapi Rapuh” vs “Kecil tapi Tangguh”

  • Koperasi GM (Aset Rp971 miliar):
    Skor kesehatan menurut Permenkop: “Cukup Sehat”.
    Namun, arus kas operasi negatif selama tiga tahun berturut-turut dan ketergantungan pada pinjaman bank >70%.
    Analisis berkelanjutan: Potensi kolaps dalam 18 bulan.
  • Kopkar GMFA (Aset Rp87,5 miliar):
    Skor kesehatan menurut Permenkop: “Perlu Perbaikan”.
    Analisis berkelanjutan: Pertumbuhan anggota 12% per tahun, debt-to-ecological ratio 0,8 (ideal <1,0).
    Diagnosis: Potensi tumbuh 20% dalam tiga tahun.

Implementasi di Lapangan

  • Hitung Rasio Inti:
    • Sustainable Profitability: (SHU – Biaya Lingkungan) / Total Aset
    • Resilience Index: (Kas + Piutang <90 hari) / Kewajiban Lancar
  • Benchmarking:
    Bandingkan dengan rata-rata industri.
  • Skoring Otomatis:
    Pakai aplikasi CoopHealthScan dari IKOPIN. Input data keuangan, hasil skor dalam 15 menit.

Tantangan dan Solusi

Banyak pengurus koperasi masih berpikir aset besar berarti sehat. Padahal, contohnya di Koperasi ABCD, 64% asetnya adalah tanah yang tidak menghasilkan arus kas. Solusinya, perlu transformasi digital seperti pelatihan berbasis AI dan dashboard digital untuk memantau kesehatan keuangan secara real-time.

Penutup: Masa Depan Koperasi Indonesia

Model penilaian berbasis kinerja keuangan berkelanjutan bukan sekadar inovasi akademis, melainkan senjata strategis menghadapi disrupsi ekonomi. Koperasi dengan skor berkelanjutan >80 memiliki pertumbuhan aset 2,3x lebih tinggi dan tingkat kegagalan 70% lebih rendah dibanding koperasi “sehat” versi konvensional.

Sumber:

  • Permenkop No. 9 Tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi
  • Barney, J. (1991). Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management
  • Elkington, J. (1997). Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Capstone Publishing
  • Subagyo, A. (2024). Studi Kinerja Keuangan Berkelanjutan pada 120 Koperasi Indonesia

Categories: Berita

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *