Tabungan Sampah, Masa Depan Sejahtera: Desa Sayang Menjadi Pelopor Microfinance Berbasis Koperasi Jasa

Udara sore di Desa Sayang, Kecamatan Jatinangor, pada awal Agustus 2025 terasa berbeda. Angin lembut yang berhembus membawa semangat baru semangat perubahan yang hadir lewat sebuah langkah sederhana tapi bermakna: mengelola sampah rumah tangga, bukan sekadar membersihkan lingkungan tapi juga membangun sistem keuangan mikro berbasis komunitas. Hari itu, aula pertemuan desa menjadi titik awal babak baru Desa Sayang, mengusung konsep “bank sampah” dalam wadah koperasi jasa, sebuah gagasan segar dari Prof. Dr. Ahmad Subagyo, sang Ketua Program PKM sekaligus Ketua Umum Indonesian Microfinance Experts Association (IMFEA), yang diyakini akan membawa pengelolaan sampah dan ekonomi desa ke level yang lebih profesional dan berkelanjutan.
Acara spesial sore itu dibuka dengan penuh kehangatan oleh Kepala Desa Sayang, Bapak Dody Kusnaedi, S.Pd. Kehadirannya menandai dukungan penuh dari pemerintah desa terhadap program inovatif ini. “Saya yakin, bila warga Desa Sayang bisa mengelola sampah sebagai tabungan dan menjadikannya sumber ekonomi keluarga, desa ini akan jadi contoh nasional. Mari kita mulai dari diri sendiri dan komunitas,” ujar Pak Dody dalam sambutannya yang disambut tepuk tangan ibu-ibu, para pemuda, dan perangkat desa. Momentum ini langsung memberi aura optimis dan menggugah seluruh peserta yang hadir lebih dari 25 orang, termasuk kader PKK, pegiat lingkungan, tokoh masyarakat, dan tentu saja tim pelaksana dari LPPM UMJ.
Melahirkan Gagasan Baru: Bank Sampah sebagai Napas Microfinance Desa
Tidak banyak yang menyangka bahwa masalah klasik seperti sampah rumah tangga dapat menjadi pintu masuk ke pengembangan keuangan mikro berbasis komunitas di desa. Namun, melalui survei lapangan awal yang dilakukan tim LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta, realitas di Sayang terungkap gamblang: hampir seluruh warga masih mencampur sampahnya; tidak ada pemilahan sampah organik-anorganik; apalagi sistem pengelolaan tersemat dalam lembaga resmi. Tak pelak, sampah yang semestinya bisa berharga hanya berakhir menumpuk di halaman atau dibakar begitu saja.
Berangkat dari data itu, Prof. Dr. Ahmad Subagyo menawarkan konsep progresif: mengadopsi sistem bank sampah sebagai basis microfinance desa, lalu meletakkannya di bawah naungan koperasi jasa yang sah secara hukum. Dalam penjelasannya, Prof. Ahmad menegaskan, “Inilah saatnya ekonomi sirkular desa berjalan lewat ‘tabungan sampah’ setiap kaleng, plastik, kertas, dan limbah rumah tangga yang dipilah dan disetorkan menjadi saldo yang bisa diuangkan atau ditukar kebutuhan harian. Dengan koperasi jasa, setiap warga berhak mendapat manfaat bukan hanya lingkungan yang lebih bersih, tapi juga transaksi keuangan mikro yang inklusif serta hasil usaha yang adil.”
Konsep ini bukan tanpa alasan. Sebagai pionir di bidang microfinance dan ekonomi koperasi, Prof. Ahmad menilai sistem bank sampah koperasi menjawab berbagai kebutuhan sekaligus: membangun literasi keuangan di akar rumput, mengubah perilaku konsumsi dan manajemen limbah rumah tangga, serta menghadirkan ekosistem ekonomi yang tangguh berbasis gotong royong dan kepercayaan sosial. “Inovasi harus tumbuh dari masalah nyata, dan solusi semacam ini bisa direplikasi di desa-desa lain di Indonesia,” tambahnya.
Suasana Pelatihan yang Hangat dan Inspiratif
Pelatihan berlangsung hidup dan penuh keakraban; siapa saja bebas bertanya dan bercerita, bahkan peserta yang awalnya hanya datang karena penasaran, akhirnya turut menyumbangkan ide for komunitas baru. Kursi plastik berderet rapih di aula desa, setiap meja dilengkapi alat tulis, leaflet materi, serta contoh sampah yang akan dipilah dan dinilai. Tidak ada sekat antara narasumber dan warga; diskusi mengalir, cerita-cerita inspiratif dari daerah lain dibagikan untuk menyulut mimpi peserta Desa Sayang.
Muhammad Fikri, S.Ag., seorang praktisi sekaligus pegiat bank sampah digital, datang dari Pekalongan membawa cerita sukses komunitasnya. Ia membagikan kisah tentang bagaimana warga di desanya telah menabung sampah selama bertahun-tahun, bukan cuma mengurangi timbunan limbah, tapi juga menumbuhkan kebiasaan menabung dan pengelolaan keuangan keluarga. Warga Desa Sayang pun belajar secara langsung: memilah sampah, menimbang, mencatat saldonya dalam buku tabungan, dan menghitung hasil pemilahan itu sebagai simpanan. Ada pula simulasi transaksi digital menggunakan aplikasi sederhana yang bisa dipakai lewat ponsel, juga diskusi tentang kemungkinan menukar sampah dengan bahan pokok ataupun saldo mikro di koperasi.
“Biasanya ibu-ibu datang ke bank sampah, bawa plastik, kardus, botol nanti ditimbang, dicatat, masuk saldo. Kalau sudah cukup, uangnya bisa diambil atau bisa ditukar sembako,” tutur Fikri dengan logat pesisir yang akrab di telinga warga. Para peserta terlihat antusias, banyak yang bertanya bagaimana caranya supaya tabungan terus bertambah dan bagaimana koperasi mengelola hasil penjualan sampah secara transparan.
Koperasi Jasa: Wadah Legal Menuju Ekonomi Kolektif
Menurut Prof. Ahmad Subagyo, keberhasilan pengelolaan bank sampah di tingkat desa sangat ditentukan oleh legalitas dan tata kelola yang baik. Itulah sebabnya, penanaman gagasan “koperasi jasa” sebagai rumah besar pengelola bank sampah menjadi pilar utama program ini. Dengan badan hukum koperasi, perputaran nilai ekonomi hasil pengelolaan sampah dapat dicatat rapi, SHU (Sisa Hasil Usaha) bisa dibagi sesuai proporsi tabungan, serta akses kredit maupun pendanaan dari luar bisa didapat dengan mudah.
“Banyak usaha bank sampah gagal di tengah jalan karena tidak punya legalitas dan sistem pencatatan. Begitu ada koperasi, semua aktivitas keuangan mikro, pembagian hasil, bahkan peluang kolaborasi dengan UMKM lokal maupun lembaga keuangan resmi, bisa digarap lebih profesional,” jelas Prof. Ahmad dalam diskusi bersama perangkat desa dan tokoh masyarakat.
Lebih lanjut, koperasi jasa Desa Sayang akan mengadopsi prinsip transparansi penuh. Setiap transaksi tabungan sampah warga akan tercatat di buku anggota, hasil penjualan diakumulasikan sebagai simpanan modal koperasi, dan keuntungan (setelah biaya operasional, transportasi, edukasi, dan pengembangan alat) akan kembali ke anggota lewat SHU atau program sosial. Tak hanya itu, koperasi juga bisa mengajukan subsidi alat pemilah, pengolahan kompos organik, atau membangun kemitraan dengan perusahaan daur ulang nasional.
Dari Praktik Sederhana, Menuju Budaya Finansial dan Lingkungan Baru
Warga Desa Sayang belajar memaknai setiap aksi kecil memilah sampah di rumah sebagai investasi masa depan. Dari awalnya buang-buang sembarangan, kini mereka mulai bersemangat mengumpulkan plastik, kardus, atau botol bekas, menatanya di sudut rumah, dan menanti jadwal penjemputan bank sampah koperasi. Setiap setoran akan ditimbang, dihitung nilainya, lalu dimasukkan sebagai saldo tabungan.
“Anak-anak pun antusias, mereka berlomba membawa sampah plastik dari rumah. Ternyata seru, apalagi kalau saldo sudah bisa ditukar jajan atau beli alat sekolah,” cerita salah satu ibu rumah tangga. Kepala desa, Pak Dody, yang sebelumnya hanya jadi pembuka acara, turut aktif menyemangati warganya dan berjanji pemerintah desa akan menyediakan pendampingan dan fasilitas seperlunya agar inisiatif ini tak sekadar wacana.
Model tabungan sampah ini mulai terasa mustahil bila tanpa sinergi. Koperasi jasa jadi jantung yang menjaga semua tetap hidup dan berkembang. Begitu warga sudah rajin menabung sampah, koperasi bisa membeli alat pengolah kompos dari tabungan SHU, atau bersama merintis unit usaha ekonomi kreatif berbasis daur ulang. Dengan sistem pencatatan yang konsisten, setiap transaksi jadi dasar penguatan literasi keuangan mikro masyarakat yang selama ini sering abai pada hal-hal finansial.
Menyulam Asa: Peran Prof. Ahmad Subagyo dan IMFEA
Tak bisa dilepaskan, kiprah Prof. Dr. Ahmad Subagyo dalam menghidupkan ekosistem microfinance di desa-desa Indonesia memang tampak dalam setiap langkah program ini. Sebagai Ketua Umum IMFEA (Indonesian Microfinance Experts Association) dan sosok kunci PKM LPPM UMJ, Prof. Ahmad piawai menggabungkan kepekaan sosial, keilmuan ekonomi mikro, dan kekuatan kelembagaan koperasi. Ia percaya, inovasi keuangan mikro harus menyentuh realitas di tingkat akar rumput, bukan sebatas wacana atau proyek sementara.
Ia menjabarkan bahwa kehadiran koperasi jasa sebagai lembaga keuangan mikro non-bank paling adaptif di Indonesia terbukti memberi ruang partisipasi semua kalangan. Dengan konsep bank sampah koperasi, tidak ada kata “tidak punya modal”. Modalnya adalah keberanian memilah sampah dan berkomunitas, sementara koperasi menjadi perantara perubahan budaya dan penyebaran manfaat ekonomi secara adil hal yang selama ini sangat langka terjadi pada program pemberdayaan konvensional.
Program di Desa Sayang ini, menurut Prof. Ahmad, bukan akhir, melainkan pijakan pilot project yang akan diduplikasi ke banyak desa. Ia menyiapkan roadmap besar: setelah koperasi jasa berdiri dan sistem berjalan, tahap berikutnya adalah menghubungkan koperasi Desa Sayang dengan jaringan bank sampah nasional, UMKM pengolahan limbah, dan lembaga microfinance syariah agar integrasi pembiayaan, pemasaran, dan sirkulasi hasil usaha makin optimal.
Mimpi Menjadi Nyata: Harapan dan Rencana Aksi Nyata
Pelatihan hari itu diakhiri dengan penandatanganan komitmen bersama untuk membentuk komunitas peduli sampah sebagai pendiri koperasi jasa, menyusun AD/ART, serta segera mengurus legalisasi ke dinas koperasi kabupaten. Sejumlah warga telah sukarela menjadi tim pengurus, didampingi langsung oleh tim LPPM UMJ dan perangkat desa.
Nuansa optimisme terpancar jelas. Bagi warga, gagasan bank sampah koperasi berubah dari ide abstrak menjadi kenyataan yang terukur dan terasa manfaatnya. Di tengah tantangan modernisasi desa dan arus limbah rumah tangga yang kian bertambah, sistem keuangan mikro berbasis tabungan sampah adalah harapan baru.
Dengan adanya koperasi jasa, warga tidak hanya merdeka dari sampah, tetapi juga siap menjadi pelaku ekonomi baru: mereka belajar menabung, berinvestasi sosial, mengelola pembukuan, serta mengecap manisnya ‘bagi hasil’ di akhir tahun. Setiap langkah kecil memisahkan sampah tiap pagi, menyerahkan ke bank sampah koperasi, menghitung saldo tabungan adalah bagian dari revolusi mikro ekonomi berbasis lingkungan yang sustainable.
Inspirasi dari Desa Sayang untuk Indonesia
Apa yang terjadi di Desa Sayang membuktikan bahwa keuangan mikro tidak harus dimulai dari pinjaman atau dana segar. Inovasi yang sederhana, murah, dan bisa diterapkan siapa saja, dengan tata kelola koperasi yang baik dan semangat kolektivitas, mampu menggerakkan roda ekonomi kecil-kecilan dan membawa perubahan besar bagi desa.
Prof. Ahmad Subagyo menutup sesi pertemuan hari itu dengan penuh semangat, “Saya bermimpi, suatu hari nanti, koperasi jasa bank sampah di Desa Sayang akan menjadi benchmark nasional warga desa tak sekadar bersih lingkungan, tapi juga sejahtera ekonomi, dan bangga menjadi bagian dari komunitas modern berbasis nilai-nilai gotong royong Indonesia.”
Matahari telah tenggelam, namun semangat warga Desa Sayang justru semakin menyala. Bank sampah berbasis koperasi jasa telah lahir sebagai napas baru microfinance desa, menjadi solusi cerdas yang berakar kuat pada kearifan lokal dan kepedulian lingkungan. Dari sini, langkah kecil itu akan terus bergulir, membawa inspirasi dan manfaat bagi desa-desa lain di seluruh penjuru Nusantara.
0 Comments