Spread the love

Indonesia, Negara berpenduduk  278 juta jiwa dan ribuan pulau, telah lama menempatkan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Namun, menuju peta jalan penguatan pembiayaan UMKM yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan fundamental: informalitas, gap pembiayaan gender, keterbatasan kredit, serta lemahnya ekosistem rantai pasok dan infrastruktur data. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, pengalaman negara-negara Afrika yang tercermin dalam “Policy Framework for Enhancing MSME Financing Ecosystem in Africa” menjadi cermin sekaligus inspirasi: di mana kita dapat memperkaya dan membenahi desain kebijakan pembiayaan untuk memperkokoh posisi UMKM sebagai mesin pembangunan inklusif.

Ekosistem Pembiayaan yang Berkelanjutan: Belajar dari Afrika

Apa yang menjadi kekuatan dari framework kebijakan Afrika? Pertama-tama, dokumen tersebut mengedepankan lintasan kebijakan dan intervensi multidimensi yang sistematis, meliputi aspek policy, regulasi, pengembangan kapasitas, alternatif pembiayaan, credit infrastructure, hingga penanganan informalitas dan inklusi gender. Tidak semua prinsip menjadi domain bank sentral atau otoritas keuangan, namun justru menekankan sinergi lintas kementerian, lembaga, dan pelaku sektor swasta sebagai koordinator ekosistem UMKM.

Di Afrika, pengembangan ekosistem pembiayaan UMKM tidak sebatas pada pengaturan bunga kredit atau program perbankan konvensional, melainkan membangun ekosistem dengan 21 prinsip strategis, mulai dari penyusunan policy, penyempurnaan regulasi, penguatan perangkat credit infrastructure (credit bureau, guarantee, collateral registry), hingga penciptaan sistem alternative finance yang inklusif seperti leasing, factoring, tech-based lending, crowdfunding, dan digital payment integration.

Indonesia sepatutnya belajar bahwa pembangunan ekosistem pembiayaan tidak bisa berjalan sendiri. Partnership lintas stakeholder sangat krusial. Kekuatan framework adalah pada prinsip monitoring dan evaluasi kebijakan berbasis evidence dan penyerapan aspirasi demand-side UMKM, serta pengarusutamaan inklusi perempuan, anak muda, dan pelaku bisnis agrikultur tiga sektor yang menjadi oksigen UMKM baik di Indonesia maupun Afrika.

Policy dan Regulatory Framework: Perlu Disempurnakan

Salah satu pelajaran kunci dari Afrika adalah pentingnya overarching national MSME development policy yang dinamis, holistik, dan terintegrasi. Indonesia memiliki UU No 20/2008 sebagai landasan, namun framework Afrika mengajarkan agar kebijakan harus terus di-update dan dievaluasi secara regular melalui forum bersama para pemangku kepentingan, bukan sekadar program pemerintah pusat. Setiap kebijakan perlu mendefinisikan dengan jelas target, indikator kemajuan, sektor prioritas, dan peran regulator versus pelaku pasar.

Pada aspek regulasi, Afrika memetakan kebutuhan agar legal structure dapat menampung pelbagai credit providers yang sesuai untuk kebutuhan UMKM bukan sekadar bank konvensional, tetapi juga microfinance, rural bank, fintech lending, hingga aggregator. Regulatory structure di Afrika secara proaktif menyesuaikan pendekatan pengawasan sesuai level risiko masing-masing jenis lembaga, sehingga kompetisi sehat dan inovasi tetap terjaga. Di Indonesia, pengawasan masih terpusat pada bank dan koperasi, sementara pengembangan fintech lending sangat pesat namun pengaturan riset risikonya belum optimal.

Framework Afrika juga menekankan pentingnya market conduct framework, yakni regulasi yang memastikan bahwa kredit provider bertindak adil, transparan, dan mengedepankan perlindungan konsumen UMKM. Dispute resolution system dan literasi finansial yang terintegrasi dalam onboarding kredit perlu diperkuat satu hal yang patut Indonesia adopsi, agar tidak terjadi “loan sharks”, mis-selling, dan meningkatnya non-performing loan di sektor UMKM.

Penguatan Kapasitas, Literasi, dan Payment System

Salah satu insight dokumen Afrika adalah perlunya pembangunan kapasitas literasi bisnis dan finansial secara terprogram bagi pelaku UMKM. Bukan hanya pelatihan generik, tetapi program bertingkat yang merefleksikan kebutuhan spesifik pelaku UMKM perempuan, anak muda, pemilik usaha di desa, hingga agripreneur. Program ini perlu didukung oleh kolaborasi antara regulator, kementerian pendidikan, perguruan tinggi, dan community-based organizations.

Terkait payment system, framework Afrika menyarankan agar payment system digital dibuat seinklusif mungkin, mudah digunakan, interoperabel, dan melayani transaksi bernilai kecil. Pembayaran digital menjadi pintu masuk digital footprint, yang dapat membantu profiling kredit dan menutup gender gap pembiayaan. Indonesia sudah mulai memacu digitalisasi payment system, namun perlu terus mengoptimalkan integrasi antara bank digital, fintech, dan platform aggregator agar UMKM benar-benar dapat keluar dari ekosistem cash-based.

Alternatif Pembiayaan: Belajar dari Inovasi Afrika

Afrika membangun ekosistem pembiayaan alternatif yang beragam. Leasing dan factoring dijadikan solusi krusial bagi working capital dan investment finance UMKM, khususnya yang belum bankable. Di Indonesia, pembiayaan modal kerja via leasing sudah berkembang, namun skema factoring, capital market-lending, technology-based funding (crowdfunding, P2P lending), dan skema pendanaan startup masih sangat terbatas dan belum menjadi andalan mainstream bagi UMKM.

Framework Afrika menekankan legislative clarity: setiap skema pembiayaan harus didukung oleh hukum yang jelas, perlindungan hak dan kewajiban yang seimbang, serta sistem pajak yang tidak mengecilkan insentif sektor leasing/factoring. Indonesia dapat belajar memperkuat kerangka hukum, menghindari tumpang tindih regulasi dan membuka jalan bagi inovasi pendanaan alternatif yang sekarang masih cenderung sporadis.

Credit Infrastructure dan Penjaminan, Jangan “Asal Jalan”

Kunci ekosistem pembiayaan, menurut dokumen Afrika, adalah credit infrastructure yang komprehensif. Credit bureau, credit guarantee schemes, dan secured transaction system perlu dikembangkan dengan integritas dan akuntabilitas tinggi. Setiap pengembangan credit infrastructure harus didampingi oleh regulasi perlindungan data, pemanfaatan data alternatif, dan akreditasi penyedia informasi kredit.

Di Indonesia, penjaminan kredit mulai diperkuat melalui Lembaga Penjamin Simpanan dan Penjaminan Kredit Daerah, namun framework Afrika mengingatkan pentingnya governance, risk management, dan monitoring yang transparan. Credit guarantee scheme yang market-friendly dan tidak sekadar “mitigasi risiko lembaga keuangan utama” akan memacu inklusi UMKM lebih efektif.

Pada secured transaction, Afrika memperluas definisi agunan ke movable asset seperti kendaraan, hasil bumi, livestock, dan persediaan. Indonesia masih mendominasi asset-based lending pada fixed asset (tanah dan bangunan), padahal pelaku UMKM seringkali tidak memiliki asset tetap. Pengembangan registry agunan bergerak digital sangat patut dicontoh.

Informalitas dan Strategi Transisi

Salah satu pilar framework Afrika yang paling relevan untuk Indonesia adalah strategi transisi informal ke formal. Informalitas mendominasi baik di Afrika maupun Indonesia (divisi informalitas UMKM di Indonesia berkisar pada 60-70% total pelaku), yang menyebabkan usaha kesulitan mendapat pembiayaan formal, tidak terlindungi hukum, dan minim akses ke pasar formal. Framework Afrika mengkampanyekan strategi transisi dengan benefit nyata, pendekatan outreach dan literasi yang terintegrasi, serta inklusi gender.

Di Indonesia, formalitas usaha masih dinilai sulit, terutama akibat birokrasi, biaya, dan ketidakpastian legalitas di tingkat daerah. Framework Afrika mengajarkan agar strategi formalitas tidak sekadar “wajib lapor”, tapi harus dirancang memberi value proposition yang kuat seperti layanan pembayaran, akses data, benefit asuransi usaha, hingga program insentif perpajakan bagi pelaku yang siap berpindah dari informal ke formal. Pendekatan bottom-up berbasis kebutuhan pelaku menjadi kunci sukses. Data digital dari platform pembayaran juga bisa dimanfaatkan dalam credit profiling informal UMKM, sehingga pelaku tidak perlu menunggu bertahun-tahun jadi “bankable”.

Debt Review, Reorganisasi, dan Insolvency Regime

Framework Afrika memberi atensi pada perlunya reformasi debt review dan insolvency regime bagi UMKM. Skema workout, restrukturisasi, hingga special insolvency proceedings untuk UMKM memungkinkan proses penyehatan dan exit market yang adil, cepat, dan berimbang. Di Indonesia, proses restrukturisasi usaha UMKM masih cenderung reaktif dan berbasis lembaga kreditur utama padahal reformasi legal dan penciptaan small claims court dapat mempercepat penyelesaian sengketa dan restrukturisasi, mengurangi bias pada bank besar atau institusi multifinance. Akses ke proses restrukturisasi yang murah dan efisien dapat mendorong pelaku untuk berani masuk pasar formal dan inovatif.

Sektor Prioritas: Wanita, Anak Muda, Agribisnis, Iklim

Framework Afrika menempatkan women- and youth-led MSME, agribisnis, dan climate-sensitive sector sebagai fokus penguatan ekosistem pembiayaan. Data menunjukan bahwa di Afrika, UMKM yang dipimpin perempuan jauh lebih banyak berada di sektor informal, mengalami bias gender, dan kesulitan akses kredit. Indonesia pun menghadapi masalah serupa pelaku perempuan dan anak muda sering kali hanya dilihat sebagai objek program “perempuan inspiratif”, namun tidak mendapatkan benefit sistem finansial yang setara dengan pelaku usaha pria. Framework Afrika menyarankan penyusunan data gender disaggregated, insentif akses kredit untuk pelaku perempuan/muda, serta penguatan capacity building dan digitalisasi produk keuangan yang ramah gender.

Agribisnis menjadi sektor kunci baik di Afrika maupun Indonesia, mayoritas UMKM bergerak di rantai pasok pertanian dan perikanan. Framework Afrika menegaskan pentingnya penguatan value chain financing (skema warehouse receipt system, factoring petani, dan asuransi pertanian), serta pentingnya state bank/DFI yang fokus membangun lingkungan usaha agribisnis yang berdaya tahan. Di Indonesia, penguatan bank pertanian dan skema pembiayaan agribisnis (misal KUD), sebagai DFI yang efisien dan bermandat jelas, sangat patut diadopsi.

Climate change menjadi tantangan baru, baik di Afrika maupun Indonesia. Framework Afrika mendorong pembangunan ekosistem funds, refinancing, dan credit guarantee yang mendukung bisnis hijau, inovasi energi alternatif, serta UMKM di sektor ramah lingkungan. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan “green financing” yang lebih sistemik, dengan menyinergikan fintech, pembiayaan bank, dan asuransi cuaca atau produk keuangan berorientasi mitigasi iklim.

Teknologi Digital dan Data: Pilar Transformasi

Framework Afrika menyebutkan teknologi digital, big data, open banking, dan fintech sebagai game changer dalam ekosistem pembiayaan UMKM. Regulasi tidak cukup hanya mengatur produk, tetapi perlu menata data protection, privacy, dan standar interoperabilitas. Pemanfaatan data alternatif (digital transaction) dapat menutup missing middle pada pelaku yang baru berkembang, serta memacu inovasi produk pendanaan dengan skema lebih murah dan akses lebih cepat.

Indonesia perlu memperkuat upaya digitalisasi pengunaan data, standardisasi credit scoring, dan perlindungan data konsumen. Sinergi antar bank digital, fintech, koperasi digital, dan platform aggregator wajib didukung sinergi regulasi yang lintas lembaga (OJK, BI, Kemenkop-UKM, Diskominfo, Kemenkeu). Framework Afrika telah lebih progresif dalam membuka regulatory sandbox untuk inovasi produk digital.

Mapping Kelembagaan dan Tata Kelola: Praktik Baik dari Afrika

Framework Afrika secara detail memetakan tanggung jawab primer dan sekunder antar lembaga: mulai dari Kementerian UKM, bank sentral, Kementerian Pertanian, Kementerian Teknologi, Kementerian Keuangan, badan statistik, hingga civil society. Di Indonesia, sinergi antar kementerian dan lembaga kadang berjalan sporadis dan overlapping, sehingga banyak program tidak optimal di tingkat implementasi. Framework Afrika dapat menjadi model bagi Indonesia untuk mensinergikan forum lintas kementerian, sehingga program bukan sekadar flagship satu institusi tapi milik bersama (shared mandates).

Memetik Pelajaran, Menanamkan Perubahan

Indonesia dapat belajar banyak dari Afrika untuk memperkuat kebijakan, ekosistem, serta tata kelola pembiayaan UMKM. Hal berikut adalah summary, bukan point, melainkan alur perubahan dari refleksi pengalaman Afrika yang perlu dialami bersama di Indonesia:

Ekosistem UMKM adalah sebuah “organisme” yang hidup dan bergerak. Membangunnya perlu peta jalan yang visioner, progresif, dan teruji lalu dievaluasi secara periodik. Seperti yang diurai dalam framework Afrika, kebijakan UMKM Indonesia harus membumi pada tantangan, bukan hanya sekadar pencapaian target penyaluran kredit. Pemberdayaan pelaku perempuan dan anak muda, penguatan agribisnis, penanganan informalitas, hingga inovasi fintech lending adalah nafas baru.

Tantangan terbesar terletak pada informalitas dan gap gender, termasuk keterbatasan agunan dan diskriminasi struktural. Pengalaman Afrika membuktikan, transformasi UMKM perlu insentif nyata, reformasi birokrasi, kemudahan pembayaran digital, dan pemanfaatan data alternatif yang memberdayakan pelaku usaha baru agar bisa naik kelas tanpa harus menunggu puluhan tahun menabung modal tetap.

Pembangunan credit infrastructure perlu didukung dengan regulasi yang adaptif, sistem penjaminan yang transparan, serta secured transaction system yang ramah asset bergerak dan digital. Skema restrukturisasi usaha, debt workout, dan akses ke proses hukum yang murah menjadi pembeda antara ekosistem yang resilient dengan yang rentan pada krisis. Sinergi lintas institusi dan akuntabilitas, serta monitoring berbasis data terpilah, akan mempercepat evolusi kebijakan.

Akhir perjalanan, pengalaman Afrika adalah motivasi sekaligus pengingat: membangun ekosistem UMKM pembiayaan tidak cukup dengan program, regulasi, atau digitalisasi saja, melainkan harus mengedepankan model ekosistem yang benar-benar partisipatif, ramah inovasi, berpihak pada pelaku yang rentan, dan berlandaskan kemitraan lintas sektor yang berkelanjutan. Indonesia, dengan diversitas pelaku UMKM dan keunikan demografi, dapat bertransformasi menuju ekosistem pembiayaan yang lebih resilient, inklusif, dan adaptive dengan belajar dari praktik baik dan refleksi kebijakan Afrika.

Demikianlah naskah narasi sebagai refleksi praktik baik dari Afrika untuk ekosistem pembiayaan UMKM Indonesia secara holistik, mendalam, dan berorientasi masa depan.

Prof. Ahmad Subagyo

Ketum IMFEA

Categories: Berita

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *